cabriworld – Korban keracunan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) didominasi anak-anak, memicu keprihatinan publik luas. Aliansi Perempuan Indonesia (API) menilai program ini gagal melindungi hak anak atas gizi dan kesehatan.
Menurut API, MBG dijalankan terburu-buru tanpa kesiapan infrastruktur, tenaga pendukung, dan sistem pengawasan mutu yang memadai. Akibatnya, anak-anak yang seharusnya mendapat perlindungan justru menjadi korban kebijakan yang ceroboh. Program ini tidak memenuhi standar gizi anak, bahkan berpotensi membahayakan kesehatan.
Temuan lapangan menunjukkan menu MBG jauh dari konsep makan bergizi. Alih-alih menyediakan pangan lokal dan seimbang, MBG menyajikan burger, spaghetti, dan makanan olahan tinggi lemak serta rendah nutrisi. Kepala Badan Gizi Nasional, Dadan Hindayana, menyatakan menu itu dipilih agar anak-anak tidak bosan. API menilai dalih ini menandakan pengabaian serius terhadap kesehatan anak. “MBG sudah tidak fokus pada pemenuhan gizi anak, bahkan menyajikan makanan yang berisiko beracun,” ujar API, Kamis (9/10/2025).
Presiden Prabowo telah memanggil sejumlah menteri terkait, dan pemerintah mengeluarkan Surat Edaran percepatan penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) untuk Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Namun, API menegaskan program MBG sebaiknya dihentikan, bukan disempurnakan.
Data Badan Pangan Nasional tahun 2024 menunjukkan 32% anak usia sekolah mengalami kekurangan gizi. API menekankan, intervensi pemerintah harus berbasis standar gizi, pengawasan ketat, dan menu lokal bergizi. Jika dilanjutkan tanpa perbaikan serius, MBG berpotensi menimbulkan krisis kesehatan anak di seluruh Indonesia.
Langkah selanjutnya, API mendorong audit independen terhadap semua penyelenggara MBG dan evaluasi menyeluruh agar anak-anak bisa mendapatkan gizi aman dan sehat.
“Baca Juga: Seribu Pendaki Terjebak Badai Salju di Everest. WNI Selamat”
Menu MBG di Tangerang Selatan Picu Keracunan Anak, Koordinasi Pemerintah Lemah
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) di Tangerang Selatan memicu keracunan anak-anak akibat menu rendah gizi dan tinggi gula. Kasus ini menimbulkan keprihatinan luas dan menyoroti lemahnya koordinasi antarinstansi.
Temuan di lapangan menunjukkan menu MBG berisi biskuit, roti cokelat, susu cokelat kemasan, minuman sereal rasa vanila, snack kentang, kacang atom, dan kacang kulit. Makanan ini jauh dari standar gizi anak sehat, dan berisiko meningkatkan masalah kesehatan jangka panjang.
Kondisi ini memicu polemik antara Badan Gizi Nasional (BGN) dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Pemerintah daerah setempat mengeluhkan minimnya koordinasi dengan pelaksana MBG. Akibatnya, saat keracunan terjadi, penanganan darurat menjadi lambat dan kurang efektif.
Selain itu, mekanisme penyelenggaraan MBG dinilai tertutup dan tidak transparan. Hal ini menyulitkan pemerintah daerah untuk memantau kualitas makanan dan memastikan keselamatan anak-anak. API menegaskan, ketidakakuntabilan ini memperparah kondisi darurat keracunan di berbagai lokasi.
Data Kementerian Kesehatan 2023 menunjukkan 28% anak usia sekolah mengalami risiko gizi buruk. API dan pakar gizi menekankan, program MBG harus didesain ulang dengan menu bergizi seimbang, pengawasan ketat, dan mekanisme transparan.
“Koordinasi antarinstansi wajib diperkuat agar kasus keracunan tidak terulang, dan anak-anak dapat menerima gizi aman,” kata Dadan Hindayana, Kepala BGN.
Ke depan, evaluasi independen terhadap seluruh pelaksanaan MBG diperlukan. Pemerintah harus memastikan standar gizi terpenuhi, mekanisme transparan diterapkan, dan sistem tanggap darurat siap menghadapi risiko kesehatan anak.
“Baca Juga: PM Prancis Sebastien Lecornu Mundur Setelah 27 Hari Menjabat”




Leave a Reply